Kamis, 09 April 2020

Ramada(h)an Masih Menyisahkan Masalah

Wawan Setiawan Tirta


Penulisan yang Benar antara Ramadhan, Ramdan, dan Ramadlan


Ketika bulan Ramadan memasuki detik-detik penghabisan. Memasuki minggu terakhir, sering kita dengar orang (ustaz-ustaz) baik dadakan yang hanya berdinas selama Ramadan dan paling banter sampai riyoyo kupatan maupun yang konsisten menjadi ustaz sepanjang tahun, berkata, kita layak sedih karena bulan yang penuh berkah akan segera berakhir, karena masih belum tentu lagi kita akan bertemu lagi dengan makhluk yang bernama Ramadan di tahun depan, bahkan ada yang berkata mengatakan orang saleh menangis jika Ramadan akan berakhir.

Bukannya tidak percaya terhadap perkataan para ustaz (baik yang dadakan maupun yang konsisten), saya percaya seratus persen bahwa orang yang saleh akan merasa sedih jika Ramadan akan berakhir. Karena saya tidak merasa
sedih jika harus meninggalkan Ramadan, dapat disimpulkan bahwa saya bukan termasuk dalam golongan saleh. Menurut saya, para ustaz pun (khususnya yang dadakan) juga tidak merasa sedih ketika menyambut Syawal dan meninggalkan Ramadan. Buktinya mereka (juga segala bentuk media) berkata ‘mari kita sambut kemenangan’, ‘kita telah kembali fitri (suci)’, ‘kita harus bersyukur telah melalui bulan Ramadan’ dan sebagainya, dan sebagainya. Saya hanya berkata dalam hati, menang mbahmu!! Suci mbahmu!! Awalnya berkata, sedih jika Ramadan berlalu. Begitu lebaran tiba, eh, malah bersuka cita.

Pengecualian untuk anak kecil, tentu mereka akan senang. Karena pada saat lebaran memakai baju baru, mendapat sangu dari sanak saudara serta banyak makanan yang bisa dimakan tanpa harus membeli. Eenaknyee…. Begitu juga dengan saya. Saya sangat senang jika Ramadan berakhir, bukan karena saya membenci bulan kesembilan Hijriyah ini, tapi karena tidak perlu lagi melihat serigala berbulu domba. Tak perlu lagi melihat orang memakai jilbab pura-pura, kopyah pura-pura dan sorban pura-pura dan pura-pura yang lainnya.
Semua kembali tampak aslinya, era ke-TERBUKA-an. Jadi dengan mudah bisa dibedakan, mana yang benar-benar baik dan menutupi yang seharusnya ditutupi, dan mana yang menutupi hanya untuk mencari sensasi di bulan yang suci (jadi, apakah bulan selain Ramadan tidak suci alias najis??) yang lebih penting lagi tidak perlu melihat anggota dewan dan para pembesar lainnya berbuka puasa bersama. Saya ragu, mereka iku apa ya bisa berpuasa? Lha wong kerjanya makan uang rakyat.
***
Apakah orang berbuat baik di Ramadan salah? Oh, tentu tidak. Samasekali tidak salah. Justru orang yang tidak berbuat baik di bulan ini yang salah. Ada perbuatan ‘baik’ yang aneh yang saya jumpai pada Ramadan kemarin. Ada sebuah spanduk yang bertuliskan ‘Selamat Menunaikan Ibadah Puasa’, mengucapkan ‘selamat’ berarti mendoakan orang yang berpuasa, tentu ini perbuatan baik. Tapi anehnya, spanduk tersebut justru digunakan sebagai penutup PKL (Pedagang Kaki Lima) yang menjual makanan di tengah hari di depan gedung DPRD Kabupaten Jember. Aneh binti ajaib. Sehingga spanduk itu dapat dimakanai: selamat bagi Anda yang mengerjakan puasa, biarlah saya didalam sini tidak selamat karena tidak berpuasa.

Lalu apa masalahnya? Masalah yang sebenarnya kita hadapi setelah Ramadan adalah kesulitan kita untuk tetap menjalankan kebaikan yang kita lakukan selama Ramadan, meminjam istilah A.S. Laksana (kolumnis Jawa Pos), menjaga tetap memiliki ‘perilaku puasa’ di luar bulan puasa. Masalah lain yang tentu dihadapi orangtua setelah Ramadan adalah usaha untuk mencari uang untuk menutup hutang sebagai modal lebaran (beli baju, ongkos mudik, beli kue dsb). Tentu masalah ini hanya berlaku bagi masyarakat menengah ke bawah. Dan, lebih banyak masyarakat kelas bawah daripada kelas atas.

Masalah lain yang ditinggalkan Ramadan adalah, sebenarnya mana yang benar, ‘Ramadan’ atau ‘Ramadhan’? bahkan ada teman saya yang menulis ‘Ramadlan’? Kamus Besar Bahasa Indonesia menulis ‘ramadan’ tanpa fonem /h/, tapi masih banyak yang menulis ‘ramadhan’, baik di media, spanduk-spanduk juga pamflet- Mungkin masalah yang terakhir ini hanya akan menjadi masalah segelintir orang saja yang peduli terhadap bahasa.